Foto Penulis Raisha Faradilla, Siswi SMA Negeri 3 Bireuen
Detikacehnews.id | Hidup di bumi bersama milyaran orang terkadang tak juga terasa ramai. Sebab, banyak sifat ego yang lebih mengutamakan diri sendiri hingga segelintir orang harus merasakan kesepian. Dunia memang kejam, kamu kalah, maka kamu mati.
Perkenalkan nama ku Raisha. Hanya Raisha, tanpa kata tambahan seperti yang biasa didapati anak lain dari orang tuanya.
Aku hadir di bumi Karena sebuah kesalahan, hadir dari kesenangan yang tak diinginkan. Lahir dari rahim ibu terhebat, lalu di rawat oleh bibiku tersayang. Aku sudah melewati belasan tahun di planet bernama bumi. Banyak hal yang terlewati secara sadar ataupun tidak. Dilatih secara paksa oleh keadaan agar tetap kuat meski diterjang badai masalah. Hidup tanpa punya sandaran yang tepat. Aku, adalah gadis petualang yang masih sanggup menjelajahi kerasnya dunia.
Hari itu adalah hari pertama aku bersekolah. Dengan seragam putih merah serta rambut dikuncir dua, aku sudah siap menunggu di depan pintu. Menanti siapa saja yang mau mengantar ke sekolah yang berjarak 10 meter dari rumah. Lama menunggu, tak ada satu pun yang menghampiriku. Sebenarnya aku sudah menebak jika ayah dan ibu tak akan sempat mengantar jika mengingat betapa sibuknya mereka berdua. Namun, aku tetap menunggu betapa mereka sedang berbaik hati sedikit. Suara langkah kaki membuat aku hampir berteriak, hanya saja kecewa menyapa hati saat melihat bibi tengah tergesa-gesa memasang kerudung dengan wajah tertutup masker.
"Oh, maafkan Bibimu ini yang terlambat bangun,sayang," ujar bibi saat dirinya bertekuk lutut. "Ayo, segera kesekilah. Di hari pertama tidak boleh ada kata lambat". Setelahnya Bibi menarik tanganku tanpa menyadari aku memasang wajah sedih. Sampainya di sekolah, kesedihan kubertambah kala melihat teman sekelas yang berangkat bersama orang tuanya. Aku ingin menangis saat itu juga, tetapi rasa malu menghinggapi hingga aku memilih menahan itu semua sampai waktu jam pulang sekolah.
Kisah itu adalah hal yang tak ingin kulalui lagi sekarang. Berharap begitu besarnya kepada sosok yang sebenarnya tak pernah menganggapku ada. 12 tahun berlalu dengan baik, hingga kini aku berjejer rapi bersama murid lain, demi melihat hasil jerih payah kami selama 3 tahun bersekolah. Yap, hari ini adalah penentuan kelulusan angkatanku. Kami diperintah untuk datang ke sekolah selepas ashar Dengan seragam OSIS lengkap. Hal yang sejujurnya engkau hadir karena sama seperti rumah. Sekolah juga bukanlah tempat yang baik untukku.
Aku tak begitu menyukai candaan teman-teman yang terkadang tak memikirkan perasaan orang lain. Mereka hanya pandai bercanda, tetapi tak pandai membaca situasi. Tak jarang, aku merasa sakit yang teramat sangat hanya karena ucapan ringan.
"Hei, lihat raisha, wajahnya hitamnya sungguh membuatku malas memandang" canda temanku, membuat seorang tertawa kencang.
Aku terkadang bingung, mengapa mereka bisa menjadikan kekurangan orang lain sebagai bahan tertawa? Tak cukup bahagiakan hidup mereka?
Aku yang kala itu hanya mampu menutupi pendengaran dengan dentuman musik bervolume tinggi dari aer phone milikku. Terduduk di pojok ruangan, tanpa satu orang teman yang berada di samping.
"Peraih nilai ujian nasional terbaik SMA negeri 3 Bireuen di raih oleh siswi kelas X,A. Beri tepuk tangan untuk teman kita!" Tepuk tangan yang meriah menjadi momok bagi kawan kita. Iya menatap sekeliling, para murid yang awalnya tak pernah bertegur sapa dengan dirinya kini asik meneriaki namanya.
" SELAMAT RAISHA! "
" TEMAN GUE YANG TERBAIK!
" GAK NYANGKA GUE ORANG ANEH KAYA LO TERNYATA PINTAR "
Raisha hanya diam.Ia tak suka menjadi pusat perhatian, apalagi mereka yang sering memandang renda dirinya dahulu.
Tuhan, tolong selesaikan segera acara ini ' batin Raisha.
Angin malam yang semakin mendingan tak membuat kuberanjak. Seragam yang masih menempel di badanku sudah tampak berantakan. Bahkan, dasi milikku sudah kulempar asal di atas pasir yang terasa basah akibat terkena sapuan ombak. Pantai masih menjadi tujuanku untuk saat ini. Dengan sekotak es krim vanilla, aku mampu berdiam diri selama mungkin di sana. Pantai yang selalu menjanjikan ketenangan, pantai yang sepi tanpa orang-orang sok baik.
Aku lebih memilih mengunjungi pantai daripada ikut berkonvoi dengan yang lainnya. Meski tadi Ardi_sang ketua kelas_sempat mengajak, aku tetap menolak dengan cara halus karena itu bukan tempatku.
Cahaya dari lampu mobil yang sengaja kehidupan membuat keadaan pantai tak begitu gelab. Pantai yang masih terletak di tengah kepadatan kota, hanya saja lebih sedikit terpencil. Tempat yang saat ini terlihat tak berpenghuni. Tak lama, nada dering mengisi kesunyian malam. Kulihat nama ayah tertera di layar ponsel. Tanpa menunggu lama, aku mengangkat panggilan itu.
"Assalamualaikum,yah ". Tak kudengar suara ayah diseberang sana.
"Kenapa, yah? "
"Kamu sudah pulang?"
Aku diam. Bingung mau menjawab apa.
"Ta?"
"Ha, iya, yah. Ini udah mau pulang, kok. Kenapa, yah?"
"Ayah hanya ingin bilang, cintai diri kamu sendiri, karena kalau bukan kamu, belum tentu ada orang lain yang mencintai dirimu".
"iya, yah."
"Ayah pamit assalamualaikum."
Sambungan telpon terputus. Aku masih menelaah perkataan ayah tadi. Mengulik kembali apa yang terjadi di masa lalu. Bagaimana diri ini mulai tumbuh tanpa tahu apa itu kasih sayang, tentang aku yang tak pernah memiliki rasa syukur atas apa yang kulalui.
Tanpa sadar, air mata mengalir di kedua pipiku. Aku terlalu egois hingga lupa mengucapkan kata syukur. Bagaimana aku tak pernah puas dengan ap yang ada di diri ini
Suara notifikasi kembali terdengar. Kali ini ada pesan yang dikirimkan oleh nomor tak dikenal.
Cintai apa yang diberikan Allah kepadamu, rezeki bukan hanya tentang materi. Rezeki Allah lebih luas dari samudera dan benua. Semua yang diciptakan pasti memiliki arti. Tinggal bagaimana kita menanggapi anugerah yang Allah berikan. Kamu hidup bersama orang-orang yang menyayangimu, jangan menutup diri, kamu berharga, Raisha.
Air mataku kembali mengalir dengan deras. Bahkan bibir ini mulai mengeluarkan isikan kecil. Demi merendam suara yang bisa saja didengar oleh orang lain, aku menyembunyikan kepalaku di antara dua kaki.
Suara telepon kembali terdengar, kali ini nama ibu muncul di layar ponsel.
"Assalamualaikum"
"Cepat pulang.ayah masuk rumah sakit, Raisha!"
Sambungan langsung terputus saat ibu berhasil menyelesaikan ucapannya. Meninggalkan aku yang terdiam dalam kebekuan.
"Ayah? Rumah sakit?" gumamku.
Air mata yang sempat mengalir terhenti mengalir. Dengan tegas aku berangkat dan memasuki mobil berwarna hitam yang diberikan ayah bulan lalu. Aku mengemudikan mobil secepat yang ku mampu. Sesekali menyalip mobil lain hingga mendapat klakson panjang.
Mencintai diri sendiri adalah hal yang harus dilakukan oleh semua manusia. Karena sejatinya, semua yang di ciptakan pasti memiliki tujuannya masing-masing. Cantik itu relatif, pintar tak selamanya statis. Akan tetapi, jiwa yang berani adalah hal yang sulit dimiliki kaum-kaum lemah.
Berhenti menjadikan omongan orang sebagai tumpuan hidup. Kamu dihidupkan oleh Allah, dan di matikan oleh Allah. Maka, hiduplah karena Allah.
Biarkan semua mengalir, karena tanganmu hanya dua untuk mengatur dunia. Tetap syukuri apa yang kau punya, dan mencintai diri sendiri tanpa membekas kasih orang lain.
Detikacehnews.id | Hidup di bumi bersama milyaran orang terkadang tak juga terasa ramai. Sebab, banyak sifat ego yang lebih mengutamakan diri sendiri hingga segelintir orang harus merasakan kesepian. Dunia memang kejam, kamu kalah, maka kamu mati.
Perkenalkan nama ku Raisha. Hanya Raisha, tanpa kata tambahan seperti yang biasa didapati anak lain dari orang tuanya.
Aku hadir di bumi Karena sebuah kesalahan, hadir dari kesenangan yang tak diinginkan. Lahir dari rahim ibu terhebat, lalu di rawat oleh bibiku tersayang. Aku sudah melewati belasan tahun di planet bernama bumi. Banyak hal yang terlewati secara sadar ataupun tidak. Dilatih secara paksa oleh keadaan agar tetap kuat meski diterjang badai masalah. Hidup tanpa punya sandaran yang tepat. Aku, adalah gadis petualang yang masih sanggup menjelajahi kerasnya dunia.
Hari itu adalah hari pertama aku bersekolah. Dengan seragam putih merah serta rambut dikuncir dua, aku sudah siap menunggu di depan pintu. Menanti siapa saja yang mau mengantar ke sekolah yang berjarak 10 meter dari rumah. Lama menunggu, tak ada satu pun yang menghampiriku. Sebenarnya aku sudah menebak jika ayah dan ibu tak akan sempat mengantar jika mengingat betapa sibuknya mereka berdua. Namun, aku tetap menunggu betapa mereka sedang berbaik hati sedikit. Suara langkah kaki membuat aku hampir berteriak, hanya saja kecewa menyapa hati saat melihat bibi tengah tergesa-gesa memasang kerudung dengan wajah tertutup masker.
"Oh, maafkan Bibimu ini yang terlambat bangun,sayang," ujar bibi saat dirinya bertekuk lutut. "Ayo, segera kesekilah. Di hari pertama tidak boleh ada kata lambat". Setelahnya Bibi menarik tanganku tanpa menyadari aku memasang wajah sedih. Sampainya di sekolah, kesedihan kubertambah kala melihat teman sekelas yang berangkat bersama orang tuanya. Aku ingin menangis saat itu juga, tetapi rasa malu menghinggapi hingga aku memilih menahan itu semua sampai waktu jam pulang sekolah.
Kisah itu adalah hal yang tak ingin kulalui lagi sekarang. Berharap begitu besarnya kepada sosok yang sebenarnya tak pernah menganggapku ada. 12 tahun berlalu dengan baik, hingga kini aku berjejer rapi bersama murid lain, demi melihat hasil jerih payah kami selama 3 tahun bersekolah. Yap, hari ini adalah penentuan kelulusan angkatanku. Kami diperintah untuk datang ke sekolah selepas ashar Dengan seragam OSIS lengkap. Hal yang sejujurnya engkau hadir karena sama seperti rumah. Sekolah juga bukanlah tempat yang baik untukku.
Aku tak begitu menyukai candaan teman-teman yang terkadang tak memikirkan perasaan orang lain. Mereka hanya pandai bercanda, tetapi tak pandai membaca situasi. Tak jarang, aku merasa sakit yang teramat sangat hanya karena ucapan ringan.
"Hei, lihat raisha, wajahnya hitamnya sungguh membuatku malas memandang" canda temanku, membuat seorang tertawa kencang.
Aku terkadang bingung, mengapa mereka bisa menjadikan kekurangan orang lain sebagai bahan tertawa? Tak cukup bahagiakan hidup mereka?
Aku yang kala itu hanya mampu menutupi pendengaran dengan dentuman musik bervolume tinggi dari aer phone milikku. Terduduk di pojok ruangan, tanpa satu orang teman yang berada di samping.
"Peraih nilai ujian nasional terbaik SMA negeri 3 Bireuen di raih oleh siswi kelas X,A. Beri tepuk tangan untuk teman kita!" Tepuk tangan yang meriah menjadi momok bagi kawan kita. Iya menatap sekeliling, para murid yang awalnya tak pernah bertegur sapa dengan dirinya kini asik meneriaki namanya.
" SELAMAT RAISHA! "
" TEMAN GUE YANG TERBAIK!
" GAK NYANGKA GUE ORANG ANEH KAYA LO TERNYATA PINTAR "
Raisha hanya diam.Ia tak suka menjadi pusat perhatian, apalagi mereka yang sering memandang renda dirinya dahulu.
Tuhan, tolong selesaikan segera acara ini ' batin Raisha.
Angin malam yang semakin mendingan tak membuat kuberanjak. Seragam yang masih menempel di badanku sudah tampak berantakan. Bahkan, dasi milikku sudah kulempar asal di atas pasir yang terasa basah akibat terkena sapuan ombak. Pantai masih menjadi tujuanku untuk saat ini. Dengan sekotak es krim vanilla, aku mampu berdiam diri selama mungkin di sana. Pantai yang selalu menjanjikan ketenangan, pantai yang sepi tanpa orang-orang sok baik.
Aku lebih memilih mengunjungi pantai daripada ikut berkonvoi dengan yang lainnya. Meski tadi Ardi_sang ketua kelas_sempat mengajak, aku tetap menolak dengan cara halus karena itu bukan tempatku.
Cahaya dari lampu mobil yang sengaja kehidupan membuat keadaan pantai tak begitu gelab. Pantai yang masih terletak di tengah kepadatan kota, hanya saja lebih sedikit terpencil. Tempat yang saat ini terlihat tak berpenghuni. Tak lama, nada dering mengisi kesunyian malam. Kulihat nama ayah tertera di layar ponsel. Tanpa menunggu lama, aku mengangkat panggilan itu.
"Assalamualaikum,yah ". Tak kudengar suara ayah diseberang sana.
"Kenapa, yah? "
"Kamu sudah pulang?"
Aku diam. Bingung mau menjawab apa.
"Ta?"
"Ha, iya, yah. Ini udah mau pulang, kok. Kenapa, yah?"
"Ayah hanya ingin bilang, cintai diri kamu sendiri, karena kalau bukan kamu, belum tentu ada orang lain yang mencintai dirimu".
"iya, yah."
"Ayah pamit assalamualaikum."
Sambungan telpon terputus. Aku masih menelaah perkataan ayah tadi. Mengulik kembali apa yang terjadi di masa lalu. Bagaimana diri ini mulai tumbuh tanpa tahu apa itu kasih sayang, tentang aku yang tak pernah memiliki rasa syukur atas apa yang kulalui.
Tanpa sadar, air mata mengalir di kedua pipiku. Aku terlalu egois hingga lupa mengucapkan kata syukur. Bagaimana aku tak pernah puas dengan ap yang ada di diri ini
Suara notifikasi kembali terdengar. Kali ini ada pesan yang dikirimkan oleh nomor tak dikenal.
Cintai apa yang diberikan Allah kepadamu, rezeki bukan hanya tentang materi. Rezeki Allah lebih luas dari samudera dan benua. Semua yang diciptakan pasti memiliki arti. Tinggal bagaimana kita menanggapi anugerah yang Allah berikan. Kamu hidup bersama orang-orang yang menyayangimu, jangan menutup diri, kamu berharga, Raisha.
Air mataku kembali mengalir dengan deras. Bahkan bibir ini mulai mengeluarkan isikan kecil. Demi merendam suara yang bisa saja didengar oleh orang lain, aku menyembunyikan kepalaku di antara dua kaki.
Suara telepon kembali terdengar, kali ini nama ibu muncul di layar ponsel.
"Assalamualaikum"
"Cepat pulang.ayah masuk rumah sakit, Raisha!"
Sambungan langsung terputus saat ibu berhasil menyelesaikan ucapannya. Meninggalkan aku yang terdiam dalam kebekuan.
"Ayah? Rumah sakit?" gumamku.
Air mata yang sempat mengalir terhenti mengalir. Dengan tegas aku berangkat dan memasuki mobil berwarna hitam yang diberikan ayah bulan lalu. Aku mengemudikan mobil secepat yang ku mampu. Sesekali menyalip mobil lain hingga mendapat klakson panjang.
Mencintai diri sendiri adalah hal yang harus dilakukan oleh semua manusia. Karena sejatinya, semua yang di ciptakan pasti memiliki tujuannya masing-masing. Cantik itu relatif, pintar tak selamanya statis. Akan tetapi, jiwa yang berani adalah hal yang sulit dimiliki kaum-kaum lemah.
Berhenti menjadikan omongan orang sebagai tumpuan hidup. Kamu dihidupkan oleh Allah, dan di matikan oleh Allah. Maka, hiduplah karena Allah.
Biarkan semua mengalir, karena tanganmu hanya dua untuk mengatur dunia. Tetap syukuri apa yang kau punya, dan mencintai diri sendiri tanpa membekas kasih orang lain.