Foto : Elga Safitri
Detikacehnews.id | Opini - Pro dan kontra terkait dunia perpolitikan di Indonesia tentang mengubah sistem Pemilu dari coblos nama caleg menjadi coblos gambar partai atau sering disebut dengan sistem proporsional terbuka dan sistem proporsional tertutup menjadi perdebatan panas yang diperbincangkan masyarakat hingga sampai saat ini belum ada keputusan resmi dari Mahkamah Konstitusi (MK).
Isu ini mencuat ke publik pertama kali di informasikan oleh Denny Indrayana melalui akun twitternya pada hari Minggu, 28 Mei 2023.
Sebagian besar masyarakat menolak tentang Sistem Pemilu Tertutup dan sebagian lagi turut mendukung dengan berbagai alasan dan pertimbangan masing-masing.
Berangkat dari hal tersebut, sistem pemilu tertutup dinilai dapat memberikan pengaruh buruk bagi Calon Legislatif (Caleg) Perempuan di Indonesia karena berbagai faktor dan dampak yang nantinya diterima di tengah masyarakat.
Sistem pemilu tertutup dianggap sebagai kemunduran demokrasi. Hal ini disebabkan sistem proporsional terbuka sudah diterapkan sejak Pemilu 2009 lalu. Selama 14 tahun, sistem proporsional terbuka dinilai mampu mengurangi jarak penyampaian aspirasi masyarakat terhadap para wakilnya di DPR.
Pasalnya, selama ini keterwakilan perempuan dalam dunia politik maupun pemilu terus meningkat. Jadi, bila sistem proporsional tertutup kembali diterapkan sudah pasti akan merugikan caleg perempuan karena sistem proporsional tertutup mereduksi penerapan affirmative action terhadap perempuan dalam politik dan pemilu yang selama ini telah berlangsung.
Dengan kata lain, bila sistem pemilu tertutup resmi ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi maka besar kemungkinan keterwakilan perempuan di politik semakin menurun dan membuat para caleg perempuan menjadi tidak optimis dalam menyampaikan aspirasi langsung dengan pemilihnya karena tidak adanya kesempatan yang diberikan seperti halnya pada sistem pemilu terbuka.
Berdasarkan data hasil Pemilu 2019, keterwakilan perempuan di Lembaga Legislatif Nasional (DPR-RI) berada pada angka 20,8% atau 120 anggota legislatif perempuan dari 575 anggota DPR RI (KPU, 2019). Walaupun masih belum mencapai target keterwakilan 30% perempuan, namun persentase ini meningkat pesat dari Pemilu RI pertama yang persentase perempuannya hanya 5,88%.
Ini menjadi poin bagus yang seharusnya menjadi pertimbangan pengambil kebijakan terkait keberadaan perempuan dalam dunia politik. Artinya, semakin banyak perempuan yang ingin menyuarakan dan mengabdi untuk bangsa ini lewat jalur politik yang sebelumnya masih dianggap remeh.
Lantas seperti apa sebenarnya sistem pemilu terbuka dan sistem pemilu tertutup?
Singkatnya, sistem proporsional terbuka yaitu pemilih dapat memilih langsung daftar nama calon legislatif. Kelebihan dari sistem ini memang ada hubungan baik yang terbangun antara pemilih dengan calon legilatif yang dipilih dan dalam sistem ini memang aspirasi pemilih lebih menentukan siapa yang terpilih.
Sedangkan sistem proporsional tertutup secara teknis pemilih hanya dapat memilih tanda gambar partai saja. Ini berlaku sejak masa orde baru dari tahun 1971 sampai 1997 yang mana jumlah partai dibatasi hanya tiga saja. Jadi daftar caleg tidak ada di surat suara, hanya di umumkan di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Caleg yang terpilih nantinya berdasarkan nomor urut dan nomor urut ditentukan oleh mekanisme internal partai. Intinya, sistem pemilu tertutup, aspirasi ditentukan oleh elite partai.
Perdebatan tentang ini setiap revisi Undang-Undang Pemilu selalu ada. Seperti tahun 2017 lalu, ada kelompok yang pro sistem proporsional tertutup ada juga yang pro sistem proporsional terbuka. Namun, sejatinya keputusan ini tidak bisa diputuskan ditengah jalan. Lebih baik tunggu saja Pemilu tahun 2029 dengan revisi UU Pemilu karena saat ini situasinya yang daftar caleg sudah masuk ke KPU. Tentunya, hal ini akan merugikan caleg itu sendiri terutama caleg perempuan yang tidak sebanyak caleg laki-laki.
Alasannya, sistem Pemilu proporsional terbuka khususnya bagi caleg perempuan bisa bersaing dengan peluang 22% terpilih. Namun jika menggunakan proporsional tertutup maka peluangnya sedikit karena belum tentu caleg perempuan ada di nomor urut awal. Bayangannya, kalau partai hanya dapat satu kursi dan nomor urut satunya laki-laki maka bisa jadi nanti laki-laki semua yang menjadi dewan legislatif.
Untuk itu, dengan adanya sistem proporsional terbuka bagi caleg perempuan dinilai dapat memberikan peluang lebih dalam kontesasi politik tanpa membedakan status dan derajat. Bagi mereka ditempatkan di nomor urut berapa pun tidak masalah yang penting bisa percaya diri berkompetisi dengan caleg lain tanpa khawatir dengan nomor urut.
Apalagi saat ini, sudah banyak lahir caleg perempuan berkualitas melalui jaringan dan organisasi yang luas. Secara sosok, personal mumpuni. Layak untuk dipilih. Namun sayangnya, seringkali mereka harus berhadapan dengan budaya patriarki yang masih muncul di beberapa daerah.
Semoga saja pemangku kebijakan tidak menutup mata terhadap peran perempuan bagi bangsa ini terutama kebijakan pemilu yang dapat mendiskriminasi caleg perempuan. Sistem Pemilu proporsional terbuka dianggap masih penting saat ini untuk mendorong reformasi partai politik karena kekuatan elite partai dominan sekarang sangat kuat dan bisa meminggirkan kandidat caleg yang punya potensi. Jadi dalam konteks demokrasi Indonesia saat ini dari sisi pemberdayaan pemilih didalam menentukan pilihannya maka kedaulatan rakyat itu ada di sistem proporsional terbuka.
Isu ini mencuat ke publik pertama kali di informasikan oleh Denny Indrayana melalui akun twitternya pada hari Minggu, 28 Mei 2023.
Sebagian besar masyarakat menolak tentang Sistem Pemilu Tertutup dan sebagian lagi turut mendukung dengan berbagai alasan dan pertimbangan masing-masing.
Berangkat dari hal tersebut, sistem pemilu tertutup dinilai dapat memberikan pengaruh buruk bagi Calon Legislatif (Caleg) Perempuan di Indonesia karena berbagai faktor dan dampak yang nantinya diterima di tengah masyarakat.
Sistem pemilu tertutup dianggap sebagai kemunduran demokrasi. Hal ini disebabkan sistem proporsional terbuka sudah diterapkan sejak Pemilu 2009 lalu. Selama 14 tahun, sistem proporsional terbuka dinilai mampu mengurangi jarak penyampaian aspirasi masyarakat terhadap para wakilnya di DPR.
Pasalnya, selama ini keterwakilan perempuan dalam dunia politik maupun pemilu terus meningkat. Jadi, bila sistem proporsional tertutup kembali diterapkan sudah pasti akan merugikan caleg perempuan karena sistem proporsional tertutup mereduksi penerapan affirmative action terhadap perempuan dalam politik dan pemilu yang selama ini telah berlangsung.
Dengan kata lain, bila sistem pemilu tertutup resmi ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi maka besar kemungkinan keterwakilan perempuan di politik semakin menurun dan membuat para caleg perempuan menjadi tidak optimis dalam menyampaikan aspirasi langsung dengan pemilihnya karena tidak adanya kesempatan yang diberikan seperti halnya pada sistem pemilu terbuka.
Berdasarkan data hasil Pemilu 2019, keterwakilan perempuan di Lembaga Legislatif Nasional (DPR-RI) berada pada angka 20,8% atau 120 anggota legislatif perempuan dari 575 anggota DPR RI (KPU, 2019). Walaupun masih belum mencapai target keterwakilan 30% perempuan, namun persentase ini meningkat pesat dari Pemilu RI pertama yang persentase perempuannya hanya 5,88%.
Ini menjadi poin bagus yang seharusnya menjadi pertimbangan pengambil kebijakan terkait keberadaan perempuan dalam dunia politik. Artinya, semakin banyak perempuan yang ingin menyuarakan dan mengabdi untuk bangsa ini lewat jalur politik yang sebelumnya masih dianggap remeh.
Lantas seperti apa sebenarnya sistem pemilu terbuka dan sistem pemilu tertutup?
Singkatnya, sistem proporsional terbuka yaitu pemilih dapat memilih langsung daftar nama calon legislatif. Kelebihan dari sistem ini memang ada hubungan baik yang terbangun antara pemilih dengan calon legilatif yang dipilih dan dalam sistem ini memang aspirasi pemilih lebih menentukan siapa yang terpilih.
Sedangkan sistem proporsional tertutup secara teknis pemilih hanya dapat memilih tanda gambar partai saja. Ini berlaku sejak masa orde baru dari tahun 1971 sampai 1997 yang mana jumlah partai dibatasi hanya tiga saja. Jadi daftar caleg tidak ada di surat suara, hanya di umumkan di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Caleg yang terpilih nantinya berdasarkan nomor urut dan nomor urut ditentukan oleh mekanisme internal partai. Intinya, sistem pemilu tertutup, aspirasi ditentukan oleh elite partai.
Perdebatan tentang ini setiap revisi Undang-Undang Pemilu selalu ada. Seperti tahun 2017 lalu, ada kelompok yang pro sistem proporsional tertutup ada juga yang pro sistem proporsional terbuka. Namun, sejatinya keputusan ini tidak bisa diputuskan ditengah jalan. Lebih baik tunggu saja Pemilu tahun 2029 dengan revisi UU Pemilu karena saat ini situasinya yang daftar caleg sudah masuk ke KPU. Tentunya, hal ini akan merugikan caleg itu sendiri terutama caleg perempuan yang tidak sebanyak caleg laki-laki.
Alasannya, sistem Pemilu proporsional terbuka khususnya bagi caleg perempuan bisa bersaing dengan peluang 22% terpilih. Namun jika menggunakan proporsional tertutup maka peluangnya sedikit karena belum tentu caleg perempuan ada di nomor urut awal. Bayangannya, kalau partai hanya dapat satu kursi dan nomor urut satunya laki-laki maka bisa jadi nanti laki-laki semua yang menjadi dewan legislatif.
Untuk itu, dengan adanya sistem proporsional terbuka bagi caleg perempuan dinilai dapat memberikan peluang lebih dalam kontesasi politik tanpa membedakan status dan derajat. Bagi mereka ditempatkan di nomor urut berapa pun tidak masalah yang penting bisa percaya diri berkompetisi dengan caleg lain tanpa khawatir dengan nomor urut.
Apalagi saat ini, sudah banyak lahir caleg perempuan berkualitas melalui jaringan dan organisasi yang luas. Secara sosok, personal mumpuni. Layak untuk dipilih. Namun sayangnya, seringkali mereka harus berhadapan dengan budaya patriarki yang masih muncul di beberapa daerah.
Semoga saja pemangku kebijakan tidak menutup mata terhadap peran perempuan bagi bangsa ini terutama kebijakan pemilu yang dapat mendiskriminasi caleg perempuan. Sistem Pemilu proporsional terbuka dianggap masih penting saat ini untuk mendorong reformasi partai politik karena kekuatan elite partai dominan sekarang sangat kuat dan bisa meminggirkan kandidat caleg yang punya potensi. Jadi dalam konteks demokrasi Indonesia saat ini dari sisi pemberdayaan pemilih didalam menentukan pilihannya maka kedaulatan rakyat itu ada di sistem proporsional terbuka.