Notification

×

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

Perusahaan Katering Asal Jakarta Permalukan Aceh, Konsumsi Basi di PON XXI Jadi Sorotan dan Abaikan Pengusaha Lokal

Minggu, 15 September 2024 | 06:44 WIB Last Updated 2024-09-14T23:44:27Z

Foto PT Aktifitas Atmosfir, perusahaan katering asal Cilandak Barat, Jakarta, yang ditunjuk sebagai pemenang tender oleh Panitia Besar (PB) PON Wilayah Aceh


Detikacehnews.id | Banda Aceh - PON XXI/2024 yang seharusnya menjadi momen kebanggaan bagi Aceh sebagai tuan rumah, kini berubah menjadi ajang kritikan tajam dan protes keras, terutama terkait dengan penyediaan konsumsi bagi para atlet. PT Aktifitas Atmosfir, perusahaan katering asal Cilandak Barat, Jakarta, yang ditunjuk sebagai pemenang tender oleh Panitia Besar (PB) PON Wilayah Aceh, menjadi sorotan publik dan netizen. Perusahaan tersebut dianggap gagal total dalam memenuhi standar konsumsi yang layak bagi atlet, hingga berdampak pada citra Aceh di mata kontingen dari berbagai provinsi.


Isu ini mencuat setelah video yang menunjukkan nasi kotak untuk atlet tersebar luas di media sosial. Dalam video tersebut, terlihat nasi kotak berisi porsi yang minim, nasi sedikit, tumis buncis, dua potongan kecil tempe, satu potong ikan, dan sepotong ayam goreng. Tak hanya itu, ada pula keluhan dari beberapa atlet tentang nasi yang sudah basi ketika diterima. Kondisi ini jauh dari harapan, terutama mengingat anggaran yang disiapkan oleh PB PON sebesar Rp 42 miliar lebih untuk konsumsi atlet dan official.


Ketidaklayakan penyediaan konsumsi ini tidak hanya mencoreng nama PT Aktifitas Atmosfir sebagai penyedia, tetapi juga merusak reputasi Aceh sebagai tuan rumah. Protes keras datang dari berbagai kontingen, mulai dari Kalimantan Tengah, Banten, Sumatera Utara, hingga Jawa Timur. Mereka mengeluhkan porsi makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan atlet yang berlaga, serta distribusi yang sering terlambat.


Banyak yang mempertanyakan bagaimana mungkin sebuah perusahaan yang dipercaya mengelola anggaran sebesar itu justru gagal menyediakan makanan yang memadai untuk para atlet. Lebih dari itu, kesalahan ini membuat Aceh dipandang buruk oleh kontingen dari luar daerah. Alih-alih menjadi ajang untuk memperlihatkan kebanggaan Aceh, peristiwa ini malah menjadi noda bagi citra daerah yang selama ini dikenal akan keramahannya sebagai tuan rumah berbagai kegiatan besar.


Selain masalah kualitas konsumsi, yang tak kalah mengecewakan adalah soal proses pengadaan yang dinilai tidak transparan. Koordinator Transparansi Tender Indonesia (TTI), Nasrudin Bahar, menyoroti bagaimana PB PON Wilayah Aceh tidak melibatkan pengusaha lokal dalam proyek besar ini. Menurutnya, penunjukan PT Aktifitas Atmosfir sebagai pemenang tender tanpa ada kesempatan bagi usaha kecil dan menengah (UKM) lokal Aceh adalah langkah yang sangat keliru.


"Pengadaan katering senilai Rp 42 miliar seharusnya dipecah menjadi beberapa paket pekerjaan agar usaha kecil dan menengah di Aceh juga bisa ikut berpartisipasi. Ini akan mendongkrak perekonomian lokal serta memperkuat kepercayaan publik terhadap pemerintah," ujar Nasrudin. Ia menambahkan, jika paket katering dibagi menjadi 10 hingga 20 pekerjaan, masing-masing pengusaha lokal bisa mendapatkan proyek senilai Rp 2 miliar. Ini tentu akan memberikan dampak positif bagi perekonomian daerah, mengingat Aceh memiliki banyak pengusaha yang mampu menangani proyek katering semacam ini.


Ketiadaan transparansi ini menimbulkan kecurigaan adanya monopoli dalam proses tender, serta dugaan adanya praktik mark-up harga yang dilakukan oleh penyedia katering. Menurut LSM Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), mark-up atau penggelembungan harga terlihat jelas dari perbedaan antara anggaran yang disediakan dan kualitas makanan yang diberikan di lapangan. Berdasarkan data yang mereka miliki, anggaran untuk setiap kotak nasi sebesar Rp 50.900, jauh di atas harga pasar di Aceh yang hanya berkisar antara Rp 20.000 hingga Rp 25.000 per kotak.


Keterlibatan pengusaha lokal dalam proyek besar seperti PON tak hanya akan memperbaiki citra Aceh, tetapi juga akan membantu memperkuat perekonomian lokal. Namun, sayangnya, kesempatan ini diabaikan oleh panitia besar PON. Aceh memiliki banyak pengusaha katering lokal yang tidak hanya berkompeten, tetapi juga memahami kebutuhan masyarakat setempat dan bisa lebih mudah diawasi untuk menjaga kualitas.


Tidak melibatkan pengusaha lokal adalah langkah yang merugikan banyak pihak. Selain tidak memanfaatkan potensi ekonomi yang ada, hal ini juga menurunkan tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah. Keputusan untuk memberikan proyek besar kepada perusahaan di luar daerah, tanpa pertimbangan matang, seolah menunjukkan bahwa pemerintah tidak percaya pada kemampuan pengusaha lokal. Padahal, jika kesempatan ini diberikan kepada pengusaha lokal, efek domino ekonomi yang akan muncul bisa sangat signifikan.


Dengan sorotan tajam dari publik dan netizen, pemerintah Aceh kini berada di bawah tekanan besar untuk memperbaiki keadaan. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Aceh bersama Inspektorat Aceh telah menurunkan tim untuk melakukan penyelidikan terhadap dugaan mark-up dan ketidaklayakan konsumsi yang disediakan. Namun, langkah ini baru awal dari proses panjang untuk memulihkan nama baik Aceh di kancah nasional.


Pemerintah Aceh perlu mengambil langkah tegas untuk meningkatkan transparansi dalam setiap proses pengadaan di masa mendatang, terutama dalam melibatkan pengusaha lokal. Selain itu, ke depan, pengawasan yang lebih ketat terhadap pelaksanaan tender dan kontrak perlu dilakukan agar kejadian serupa tidak terulang lagi. Bagi Aceh, ini adalah pelajaran penting bahwa nama baik daerah dan kesejahteraan masyarakat harus menjadi prioritas utama dalam setiap keputusan besar yang diambil.


PON XXI/2024 seharusnya menjadi ajang untuk memperlihatkan kehebatan Aceh sebagai tuan rumah. Namun, kesalahan dalam memilih rekanan katering dan kurangnya transparansi dalam proses tender justru mengundang kritikan keras yang mencoreng nama Aceh di mata nasional. Kini, tanggung jawab pemerintah adalah memulihkan kepercayaan publik dan memastikan bahwa Aceh bisa bangkit dari permasalahan ini dengan lebih kuat, lebih transparan, dan lebih berpihak pada rakyatnya.