Notification

×

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

Polemik Pengadaan Konsumsi PON XXI, Dugaan Monopoli dan Mark Up Harga Jadi Sorotan

Senin, 16 September 2024 | 22:15 WIB Last Updated 2024-09-16T15:15:45Z

PT. Aktifitas Atmosfir, sebuah perusahaan katering asal Cilandak Barat, Jakarta, yang ditunjuk sebagai vendor resmi pengadaan konsumsi atlet dan official PON XXI di Aceh-Sumut


Detikacehnews.id | Banda Aceh – Penunjukan PT. Aktifitas Atmosfir, sebuah perusahaan katering asal Cilandak Barat, Jakarta, sebagai vendor resmi pengadaan konsumsi atlet dan official PON XXI di Aceh-Sumut, kini menjadi sorotan. Penetapan ini diduga mengandung praktik monopoli dan mark up harga yang mencolok, sehingga memicu kritik dari berbagai pihak, termasuk Koordinator Transparansi Tender Indonesia (TTI), Nasruddin Bahar.


Penunjukan PT. Aktifitas Atmosfir dilakukan oleh Panitia Besar PON XXI melalui mekanisme e-katalog dengan nilai kontrak mencapai Rp 42,371 miliar. Dana tersebut terbagi dalam dua item belanja, yaitu Rp 11,472 miliar untuk snack atlet dan Rp 30,898 miliar untuk makan (nasi kotak) atlet dan official. Dalam perjanjian kontrak, vendor tersebut diwajibkan menyediakan 607.035 nasi kotak dengan harga per porsi sebesar Rp 50.900, serta jumlah snack yang sama dengan harga Rp 11.472 per kotak.


Menurut Nasruddin Bahar, penunjukan PT. Aktifitas Atmosfir melalui tender tersebut dilakukan dengan proses yang kurang transparan. "Sebenarnya, sejak sepuluh bulan sebelum acara PON XXI Aceh-Sumut digelar, PB PON Pusat sudah melakukan supervisi, terutama urusan konsumsi. Sejumlah vendor lokal sudah disurvei untuk uji kelayakan, namun anehnya, vendor-vendor lokal yang telah melalui survei itu tidak berhasil menang tender. Sebaliknya, vendor dari Jakarta yang ditunjuk oleh PB PON Pusat," ungkap Nasruddin, Ahad (15/9).


TTI menilai adanya unsur monopoli dalam pengelolaan konsumsi PON XXI dengan modus persyaratan yang sangat ketat, yang secara otomatis membuat vendor lokal sulit memenuhi kriteria. Salah satu aspek persyaratan yang diungkap TTI adalah pengalaman kerja. "Dengan nilai kontrak mencapai Rp 40 miliar lebih, sudah jelas vendor lokal tidak mampu memenuhinya karena tidak punya pengalaman menangani proyek sebesar itu," ujar Nasruddin.


Selain itu, TTI juga menyoroti kebijakan PB PON Pusat yang dinilai tidak memberikan kesempatan bagi usaha kecil dan menengah (UKM) untuk berpartisipasi. Menurut Nasruddin, seharusnya panitia penyelenggara bisa memecah paket pengadaan konsumsi ini menjadi beberapa bagian, sehingga lebih banyak vendor lokal yang bisa ikut serta dalam tender.


"Jika paket konsumsi dibagi menjadi beberapa bagian yang lebih kecil, hal ini tidak hanya memberi kesempatan kepada UKM lokal untuk bersaing, tetapi juga memudahkan panitia dalam mengontrol mutu dan waktu pengiriman makanan ke atlet. Dengan porsi yang lebih sedikit, pengawasan mutu dan ketepatan waktu akan lebih mudah dilakukan," jelas Nasruddin.


Kritik paling tajam datang dari dugaan mark up harga nasi kotak yang disediakan untuk atlet dan official PON XXI. Berdasarkan pengakuan pengusaha katering lokal yang sudah berpengalaman dalam menangani pesanan besar, harga nasi kotak di Aceh umumnya berkisar antara Rp 20.000 hingga Rp 25.000 per porsi. Jika dibandingkan dengan harga Rp 50.900 yang tercantum dalam kontrak, terdapat selisih harga sekitar Rp 25.000 per porsi, yang berarti hampir 50% keuntungan untuk vendor.


"Dari harga kontrak Rp 50.900 per kotak, jika kita berpedoman pada harga pasaran yang sebenarnya, ada selisih sekitar Rp 25.000 per porsi. Ini menunjukkan adanya dugaan mark up yang sangat besar, dan tentu saja hal ini harus diusut lebih lanjut," kata Nasruddin.


Selisih harga yang signifikan ini memunculkan dugaan bahwa PT. Aktifitas Atmosfir memperoleh keuntungan yang berlebihan dari proyek ini. Jika terbukti ada mark up, maka berdasarkan peraturan, vendor wajib mengembalikan kerugian negara minimal 20% dari total nilai kontrak, yaitu sekitar Rp 8,474 miliar.


TTI memberikan apresiasi kepada aparat penegak hukum yang telah merespons dengan cepat isu ini. Nasruddin berharap pihak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dapat segera mengusut tuntas dugaan mark up dan mengungkap kerugian negara yang mungkin terjadi akibat penunjukan vendor ini.



Jika pihak BPKP dan BPK menemukan adanya penggelembungan harga, maka pihak vendor wajib mengembalikan 20% dari nilai kontrak, yaitu tidak kurang dari Rp 8,474 miliar. Kami percaya bahwa BPKP dan BPK sudah memiliki standar cara menghitung kerugian negara secara rinci,” tutup Nasruddin.



Kasus ini tidak hanya menyoroti dugaan mark up, tetapi juga mengangkat isu penting terkait kesempatan bagi usaha lokal untuk bersaing dalam proyek-proyek besar. TTI dan sejumlah pengamat ekonomi lokal mendesak agar sistem tender PON XXI dievaluasi, dan memberikan ruang bagi vendor lokal untuk turut serta tanpa dihalangi oleh persyaratan yang terlalu memberatkan.



"Pada event besar seperti PON XXI, yang seharusnya menjadi ajang kebanggaan daerah, sangat disayangkan jika vendor lokal justru tidak diberi kesempatan untuk berkontribusi. Kami berharap, ke depannya, pemerintah lebih memperhatikan keberadaan UKM dan memberi mereka akses yang lebih adil dalam proyek-proyek besar," pungkas Nasruddin.



Dengan berbagai temuan ini, masyarakat dan pengamat berharap kasus ini dapat menjadi pelajaran penting bagi pengelolaan tender di masa mendatang. Transparansi, akuntabilitas, serta keterbukaan peluang bagi semua pihak, termasuk usaha kecil, harus menjadi prioritas utama dalam setiap proyek pemerintah, terlebih pada event berskala nasional seperti PON.