Notification

×

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

48 Tahun Perjalanan GAM, Komitmen pada MoU Helsinki Masih Jadi Pekerjaan Rumah

Rabu, 04 Desember 2024 | 11:15 WIB Last Updated 2024-12-04T04:15:01Z

Muhammad Irfansyah Putra, Juru Bicara DPW Muda Seudang Bireuen.



Detikacehnews.id | Bireuen – Tepat 48 tahun yang lalu, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dideklarasikan sebagai simbol perlawanan terhadap ketidakadilan yang dirasakan masyarakat Aceh. Momentum ini kembali diperingati sebagai ajang refleksi perjalanan panjang Aceh dari masa konflik hingga era damai yang kini dinikmati. Namun, di balik peringatan ini, muncul desakan serius dari berbagai elemen masyarakat, termasuk Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Muda Seudang Bireuen, agar pemerintah pusat lebih konsisten dalam mengimplementasikan turunan butir-butir Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki.


Gerakan Aceh Merdeka, yang dideklarasikan oleh Dr. Teungku Hasan Muhammad di Tiro pada 4 Desember 1976, lahir dari keresahan mendalam terhadap kebijakan pusat yang dinilai tidak adil. Dipelopori oleh Hasan Tiro, seorang intelektual dan diplomat ulung, GAM menjadi simbol perjuangan Aceh dalam menuntut hak-hak yang selama ini terabaikan. Konflik bersenjata yang berkepanjangan selama hampir tiga dekade ini tidak hanya mengorbankan nyawa ribuan orang, tetapi juga meruntuhkan tatanan sosial dan ekonomi Aceh.


Pada puncaknya, melalui perundingan panjang yang difasilitasi oleh pihak internasional, lahirlah kesepakatan damai di Helsinki pada 15 Agustus 2005. MoU Helsinki memberikan jalan keluar untuk mengakhiri konflik bersenjata, sekaligus membuka era baru bagi Aceh dengan diberikannya otonomi khusus. Poin-poin penting dalam kesepakatan ini mencakup pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, pemulangan para pengungsi, serta pembebasan tahanan politik.


Hampir dua dekade setelah kesepakatan tersebut, implementasi MoU Helsinki masih menemui berbagai kendala. Muhammad Irfansyah Putra, Juru Bicara DPW Muda Seudang Bireuen, menyoroti perlunya komitmen kuat dari pemerintah pusat untuk melaksanakan butir-butir MoU secara konsisten. “Pemerintah pusat harus lebih serius dalam menjalankan MoU Helsinki. Banyak poin yang belum terealisasi sepenuhnya, seperti penegakan keadilan dan rekonsiliasi yang masih jauh dari harapan masyarakat Aceh,” tegasnya.


Menurutnya, masalah birokrasi yang rumit, keterbatasan anggaran, dan ketidakpercayaan antara pemerintah pusat dan daerah menjadi penghalang utama. “Aceh memiliki potensi besar, baik dari segi sumber daya alam maupun manusianya. Namun, tanpa dukungan penuh dari pusat, potensi ini sulit dikembangkan secara maksimal,” tambah Irfansyah, yang juga mahasiswa Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala.


Salah satu isu yang tak pernah surut adalah pengibaran bendera Bintang Bulan sebagai simbol Aceh. Meski telah diatur dalam qanun, realisasinya sering kali menuai kontroversi. Pemerintah pusat hingga kini masih bersikap tegas melarang pengibaran bendera ini, dengan alasan menjaga keutuhan NKRI. “Bendera bukan sekadar simbol, tetapi identitas yang melekat pada sejarah panjang Aceh. Kita butuh dialog lebih intensif untuk menemukan solusi terbaik,” ujar Irfansyah.


Meski banyak kendala, Aceh juga telah mencatatkan berbagai kemajuan signifikan. Infrastruktur yang semakin memadai, peningkatan akses pendidikan, serta pertumbuhan ekonomi menjadi bukti nyata dari usaha pemerintah dan masyarakat dalam membangun kembali Aceh. Namun, pekerjaan rumah masih menumpuk. Pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan pembangunan di berbagai wilayah Aceh menjadi tantangan yang harus segera diatasi.


Untuk membangun Aceh yang lebih baik, masyarakat harus aktif berpartisipasi dalam setiap proses pembangunan. Pemerintah juga perlu meningkatkan kualitas pendidikan dan pelatihan agar SDM Aceh mampu bersaing di tingkat nasional maupun global,” jelas Irfansyah.


Momentum peringatan 48 tahun GAM menjadi ajang refleksi untuk belajar dari sejarah. Konflik yang menyakitkan telah mengajarkan pentingnya dialog dan toleransi dalam menyelesaikan perbedaan. Aceh kini menjadi contoh nyata bahwa perdamaian bisa diraih melalui kerja keras dan komitmen bersama.


Semoga ke depan, Aceh dapat menjadi provinsi yang damai, sejahtera, dan berkeadilan. Mari kita semua menjaga semangat persatuan demi masa depan yang lebih cerah,” tutup Irfansyah.


Peringatan Milad GAM ke-48 ini diwarnai dengan harapan besar agar butir-butir MoU Helsinki tidak hanya menjadi catatan sejarah, tetapi juga pedoman nyata untuk membangun Aceh yang lebih baik.