Notification

×

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

Artikel-Membangun Kerukunan Tanpa Kompromi Akidah

Rabu, 25 Desember 2024 | 20:23 WIB Last Updated 2024-12-25T13:23:00Z

Penulis: Syahrati, M. Si., Penyuluh Agama Islam Bireuen



Detikacehnews.id
| Artikel - Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin mengajarkan umatnya untuk hidup berdampingan dengan siapa pun, tanpa memandang latar belakang agama, suku, atau budaya. Prinsip moderasi beragama atau wasathiyah menjadi landasan dalam berinteraksi dengan sesama, termasuk dalam menghadapi keberagaman keyakinan. Salah satu aspek penting moderasi beragama adalah bagaimana seorang Muslim bersikap terhadap perayaan agama lain, seperti Natal, tanpa mengorbankan akidah.


Di Indonesia, keberagaman merupakan realitas yang tak terhindarkan. Sebagai negara yang dihuni oleh berbagai pemeluk agama, sering kali muncul dinamika tentang bagaimana umat Islam merespons perayaan besar agama lain. Perayaan Natal, misalnya, selalu menjadi topik yang hangat diperbincangkan setiap tahunnya. Tentunya kita harus paham bagaimana sikap seorang Muslim yang moderat dalam menghormati perayaan tersebut tanpa melanggar batas-batas akidah Islam.


Islam mengajarkan sikap toleransi yang tinggi terhadap agama lain. Dalam QS. Al-Kafirun: 6, Allah SWT berfirman, “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” Ayat ini menegaskan bahwa setiap umat berhak menjalankan keyakinannya masing-masing tanpa saling memaksakan. Namun, toleransi ini tidak berarti mencampuradukkan akidah Islam dengan kepercayaan lain. Islam memberi batasan yang jelas bahwa menghormati keyakinan orang lain harus tetap dalam koridor tauhid.


Sikap ini dicontohkan Rasulullah SAW dalam kehidupan sehari-hari. Beliau hidup berdampingan dengan komunitas non-Muslim di Madinah, menjaga hubungan baik, bahkan membuat Piagam Madinah yang menjadi dasar kehidupan harmonis. Namun, Rasulullah tetap teguh menjaga akidah Islam. Beliau tidak pernah ikut serta dalam ritual keagamaan mereka, tetapi menghormati kebebasan mereka dalam menjalankan ibadah.


Islam menegaskan pentingnya menjaga hubungan baik dengan sesama manusia. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah dia memuliakan tetangganya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Tetangga dalam konteks ini tidak dibatasi oleh agama atau suku, tetapi mencakup semua orang di sekitar kita. Sikap ini relevan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketika setiap individu berpegang pada prinsip moderasi, maka harmoni sosial dapat terwujud. Umat Islam, sebagai mayoritas di Indonesia, memiliki tanggung jawab besar untuk menjadi teladan dalam menjunjung toleransi.


Menghormati tak mesti mengucapkan “Selamat Natal” Bagi seorang Muslim, menghormati perayaan Natal tidak berarti ikut serta dalam ritual keagamaan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Menghormati bisa diwujudkan melalui hal-hal yang bersifat universal dalam kehidupan sehari-hari seperti berpartisipasi dalam kegiatan sosial lintas agama, menjaga kerukunan di lingkungan sekolah maupun lingkungan kerja, dan sebagainya.


Dalam QS. Al-Hujurat: 13, Allah SWT berfirman, “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.” Ayat ini mengajarkan bahwa keberagaman adalah tanda kebesaran Allah, dan setiap manusia diperintahkan untuk saling mengenal dan menghormati satu sama lain.


Para ulama kontemporer berbeda pendapat tentang hukum ucapan selamat Natal. Ada yang mengharamkan, ada pula yang membolehkan. Maka, perbedaan semacam ini hendaknya tidak boleh menjadikan internal umat Islam di Indonesia semakin terpecah hanya diakibatkan oleh perbedaan pemilihan sikap dalam kasus ini.


Apabila kita memilih sikap untuk membolehkannya, pastikan bahwa pembolehan tersebut demi menjaga kedamaian dan kerukunan antar umat beragama, dengan tetap menjaga akidah kita sebagai seorang Muslim. Jangan sampai karena ada saudara kita yang mengambil sikap mengharamkannya, kita serta merta langsung menjustifikasi ia sebagai orang yang intoleransi.


Namun bila kita memilih sikap untuk mengharamkannya, pastikan bahwa pengharaman tersebut merupakan bentuk ghirah kita dalam menjaga prinsip akidah umat Islam yang tegas namun tetap menjaga nilai-nilai toleransi antar umat beragama dengan bentuk yang berbeda. Jangan sampai karena ada saudara kita yang mengambil sikap membolehkannya, kita bermudah-mudahan dalam menjustifikasi ia sebagai orang kafir.


Sikap apapun yang dipilih, mari senantiasa kita menjaga persatuan umat Islam diantara perbedaan yang ada. Pada akhirnya nanti kita akan mempertanggungjawabkan dihadapan Allah pada yaumul hisab. Melalui moderasi beragama, umat Islam tidak hanya menjaga akidah, tetapi juga berkontribusi dalam menciptakan masyarakat yang harmonis, damai, dan penuh kasih sayang. Pada akhirnya, toleransi adalah kunci untuk merawat persatuan dalam keberagaman yang dianugerahkan Allah kepada bangsa Indonesia.