Ilustrasi foto // Pilkada Serentak 2024.
Detikacehnews.id | Bireuen - Pilkada selalu menjadi panggung menarik untuk menyaksikan dinamika demokrasi lokal. Ia menawarkan kesempatan bagi para calon pemimpin untuk menunjukkan visi dan misi, sekaligus mengundang partisipasi aktif masyarakat dalam menentukan masa depan daerah mereka. Namun, ada satu fenomena yang terus berulang dari waktu ke waktu: kegagalan menerima kekalahan dengan lapang dada.
Pasca pemilihan Bupati dan Wakil Bupati di Bireuen, gelagat pihak-pihak yang belum mampu menerima hasil nyata terlihat jelas. Hal ini mencerminkan bahwa komitmen yang disampaikan secara formal oleh pasangan calon (Paslon) saat menandatangani pakta integritas sering kali hanya sebatas janji. Mereka sebelumnya menyatakan akan menjadikan Pilkada sebagai ajang pendidikan politik yang mencerahkan, dengan slogan "Siap menang dan siap kalah." Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa komitmen ini kerap hanya berlaku separuh jalan.
Kegagalan menerima kekalahan biasanya dibarengi dengan berbagai narasi pembenaran. Tuduhan seperti kecurangan, politik uang, atau ketidaknetralan penyelenggara sering kali dilemparkan tanpa bukti konkret. Alih-alih berbesar hati mengakui kekalahan, pihak yang kalah kerap memanfaatkan celah ini untuk menciptakan persepsi publik bahwa mereka adalah korban ketidakadilan.
Fenomena ini sangat kontraproduktif, terutama dalam membangun demokrasi yang sehat. Demokrasi sejatinya bukan hanya soal menang atau kalah, tetapi bagaimana semua pihak menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, toleransi, dan penghargaan terhadap proses. Jika kalah dalam Pilkada dianggap sebagai aib yang harus ditutupi dengan tudingan dan klaim sepihak, maka masyarakat tidak akan mendapatkan pendidikan politik yang mencerdaskan. Sebaliknya, mereka hanya disuguhi drama yang memperkuat budaya saling curiga.
Kedewasaan politik tidak hanya diukur dari kemampuan seorang calon untuk meraih kemenangan, tetapi juga dari sikap mereka ketika menghadapi kekalahan. Sikap legowo (lapang dada) menjadi cerminan nilai luhur demokrasi. Dalam konteks ini, menerima kekalahan bukan berarti menyerah, melainkan wujud penghormatan terhadap pilihan rakyat.
Kepemimpinan yang sejati tidak hanya lahir dari kemenangan, tetapi juga dari keikhlasan menerima kekalahan dengan tetap berkontribusi bagi kemajuan daerah. Ketika seorang calon yang kalah mampu menunjukkan jiwa besar, ia sebenarnya sedang menanamkan modal politik yang lebih besar daripada kekuasaan itu sendiri.
Pilkada harus menjadi momentum untuk memberikan pendidikan politik yang mencerdaskan masyarakat. Pendidikan politik tidak hanya terjadi di atas panggung kampanye, tetapi juga dalam sikap para calon setelah hasil pemilihan diumumkan. Apakah mereka mampu menjadi contoh dalam menghormati proses demokrasi? Ataukah mereka justru menjadi sumber keributan baru dengan menggiring opini bahwa Pilkada penuh kecurangan?
Sikap legowo yang ditunjukkan oleh para calon yang kalah dapat menjadi contoh yang baik bagi masyarakat. Ini akan menciptakan suasana politik yang lebih sejuk dan memberikan kepercayaan kepada masyarakat bahwa demokrasi bekerja sebagaimana mestinya.
Sayangnya, tidak jarang pihak yang kalah justru mencari celah untuk mendiskreditkan pihak pemenang. Tuduhan kecurangan, politik uang, atau manipulasi suara dilemparkan tanpa bukti yang kuat. Tindakan ini tidak hanya mencederai proses demokrasi, tetapi juga merugikan masyarakat yang seharusnya segera melihat realisasi dari janji-janji kampanye.
Alih-alih memulai babak baru untuk mendukung pembangunan daerah, energi politik habis untuk melayani drama perebutan kekuasaan. Jika pola seperti ini terus terjadi, maka demokrasi kita hanya akan menjadi ritual formal tanpa makna substantif.
Untuk membangun demokrasi yang lebih matang, semua pihak, baik calon maupun pendukungnya harus menyadari bahwa kemenangan dan kekalahan adalah bagian dari dinamika demokrasi. Pilkada bukan soal hidup mati, melainkan proses untuk memilih yang terbaik di antara yang baik.
Sikap saling menghormati hasil Pilkada, apapun itu, akan menjadi pondasi penting untuk melangkah ke depan. Daerah seperti Bireuen, yang memiliki banyak potensi, membutuhkan pemimpin dan masyarakat yang bersatu, bukan yang terpecah karena perbedaan pilihan politik.
Sebagai penutup, mari kita renungkan firman Allah dalam Al-Qur'an:
"Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri." (QS. Ar-Ra'd: 11).
Pilkada hanyalah sarana, tetapi perubahan sejati datang dari komitmen kita untuk bersatu, saling mendukung, dan bekerja bersama demi kebaikan bersama. Sebab, demokrasi yang dewasa adalah demokrasi yang membawa manfaat nyata bagi masyarakat, bukan sekadar ajang perebutan kekuasaan.