Notification

×

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

Sejarah dan Filosofi Apam, Sajian Ikonik Bulan Rajab di Pidie

Senin, 27 Januari 2025 | 13:17 WIB Last Updated 2025-01-27T06:17:01Z

Apam, salah satu ikon kuliner khas Pidie.



Detikacehnews.id | Sigli - Pidie, salah satu kabupaten di Provinsi Aceh, dikenal dengan kekayaan tradisi kulinernya yang khas. Salah satu ikon kuliner daerah ini adalah Apam, sebuah hidangan tradisional yang menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya masyarakat Pidie, khususnya saat memasuki bulan Rajab. Hidangan sederhana namun sarat makna ini bukan hanya tentang cita rasa, tetapi juga tentang warisan budaya dan spiritualitas yang mendalam.


Apam, yang sekilas mirip dengan kue serabi, terbuat dari bahan-bahan sederhana seperti tepung beras, santan, air kelapa, air putih, garam, dan gula pasir. Campuran ini menghasilkan adonan yang lembut dan kenyal, yang kemudian dimasak dalam cetakan tradisional bernama ceureulop. Proses memasaknya pun menggunakan tungku berbahan kayu bakar, menciptakan aroma khas yang menggugah selera.


Menikmati apam tidak lengkap tanpa tambahan kuah santan yang disebut kuah tuhe, yang diolah dari santan dengan campuran pisang, nangka, atau cempedak, serta sedikit gula untuk menambah cita rasa manis. Penganan ini sering disajikan dalam suasana kehangatan keluarga dan kebersamaan masyarakat, khususnya saat bulan Rajab yang oleh masyarakat Aceh disebut buleun Apam.


Kenduri Apam memiliki kaitan erat dengan bulan Rajab yang dalam tradisi Islam diperingati sebagai bulan penuh berkah dan momentum mengenang peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Di Aceh, tradisi ini sudah berlangsung sejak zaman Kesultanan Aceh Darussalam. Pada bulan ini, masyarakat di pelosok-pelosok gampong Aceh mengadakan kenduri apam sebagai bentuk rasa syukur dan doa bersama.


Konon, tradisi ini bermula dari seorang sufi bernama Abdullah Rajab yang hidup dalam kemiskinan di Mekkah. Ketika ia meninggal dunia, keluarganya tidak mampu mengadakan kenduri besar, sehingga hanya membuat apam yang sederhana namun bermakna. Kisah ini kemudian menginspirasi masyarakat Aceh untuk menjadikan apam sebagai simbol kesederhanaan dalam kenduri yang tetap sarat makna spiritual.


Selain itu, tradisi ini juga memiliki dimensi sosial yang kuat. Kenduri Apam menjadi ajang silaturahmi, di mana masyarakat bersama-sama membuat dan menikmati apam sambil berbagi cerita. Di beberapa daerah, kenduri ini juga dilakukan sebagai doa untuk arwah leluhur, mengingatkan kita akan pentingnya hubungan dengan para pendahulu.


Banyak kisah dan legenda yang menyertai tradisi ini. Salah satu cerita yang populer adalah kisah seorang warga Aceh yang pura-pura mati untuk mengetahui nasibnya di alam kubur. Dalam cerita ini, ia dilindungi oleh sebuah benda menyerupai bulan yang konon merupakan hasil doa keluarganya yang sedang membuat apam. Kisah ini memperkuat kepercayaan masyarakat bahwa kenduri apam memiliki nilai spiritual yang mendalam.


Ada pula cerita bahwa tradisi ini awalnya merupakan bentuk sanksi adat bagi pria dewasa yang tidak melaksanakan salat Jumat tiga kali berturut-turut. Sebagai hukumannya, mereka diminta membuat seratus buah apam untuk dibagikan ke masjid-masjid. Hal ini bertujuan untuk memberikan pelajaran sekaligus menguatkan ikatan sosial melalui berbagi.


Sebagian sejarawan dan peneliti menyebutkan bahwa tradisi membuat apam ini mungkin memiliki akar budaya dari India. Dalam kebudayaan India, terdapat berbagai jenis kue yang mirip dengan apam, seperti appam, kalappam, honey appam, dan idiyappam. Sejarawan pangan India, K.T. Achaya, dalam bukunya The Story of Our Food, menyebutkan bahwa apam berasal dari India dan berkembang di berbagai negara, termasuk Indonesia.


Jejak sejarah ini diperkuat oleh catatan penjelajah China-India abad ke-7, Xuan Zang, yang menyebutkan bahwa masyarakat India saat itu memasak idli appam dengan cara dipanggang di atas pinggan tanah karena belum mengenal teknik mengukus. Hal ini mirip dengan cara memasak apam di Aceh yang menggunakan ceureulop.


Kenduri Apam bukan sekadar tradisi kuliner, tetapi juga simbol keakraban, spiritualitas, dan pelestarian budaya. Di tengah modernisasi yang terus berkembang, tradisi ini tetap menjadi salah satu warisan yang dipertahankan oleh masyarakat Pidie dan Aceh pada umumnya.


Dengan keunikan dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, Kenduri Apam menjadi bukti bahwa kearifan lokal mampu bertahan menghadapi perubahan zaman. Setiap potongan apam yang disantap, tidak hanya menyajikan rasa yang lezat tetapi juga menyimpan cerita dan doa yang penuh makna. Tradisi ini adalah wujud nyata dari semboyan masyarakat Aceh: menghargai masa lalu, menjalani hari ini, dan menjaga warisan untuk generasi mendatang.


Sumber: peneliti junior di ICAIOS dan alumnus Sejarah Kebudayaan Islam UIN AR-Raniry