Wakil Ketua Komisi I DPRA, Rusyidi Mukhtar, S.Sos
Detikacehnews.id | Banda Aceh – Wakil Ketua Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Rusyidi Mukhtar, menegaskan bahwa pernyataan Gubernur Aceh, H. Muzakkar Manaf atau yang akrab disapa Muallem, terkait penolakan terhadap kebijakan penggunaan QR barcode Bahan Bakar Minyak (BBM) di Aceh bukanlah pernyataan asal bicara. Menurutnya, sikap Muallem tersebut telah melalui kajian mendalam dan berlandaskan realitas yang terjadi di lapangan.
“Ini bukan omongan spontan atau tanpa dasar. Muallem adalah pemimpin yang memahami persoalan di tengah masyarakat. Pernyataan beliau tentang QR barcode BBM sudah melalui kajian dan mencerminkan keresahan masyarakat Aceh,” ujar Rusyidi Mukhtar, yang merupakan anggota DPRA dari daerah pemilihan (Dapil) III Kabupaten Bireuen, Selasa (18/2/2025).
Menurut Rusyidi, kebijakan QR barcode Pertamina yang awalnya bertujuan memastikan distribusi BBM bersubsidi yang tepat sasaran justru menjadi masalah di lapangan. Banyak masyarakat kecil yang kesulitan mendapatkan BBM akibat kebijakan ini.
“Muallem tidak ingin rakyat Aceh dizalimi dengan kebijakan ini. Ini bukan soal menolak teknologi, melainkan menolak ketidakadilan,” tegasnya.
Lebih lanjut, Rusyidi mengkritik Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Aceh yang dinilai belum menunjukkan langkah konkret dalam menyikapi keluhan masyarakat terkait QR barcode BBM.
“Seharusnya Dinas ESDM lebih proaktif. Lakukan koordinasi dengan pihak Pertamina agar ada titik temu. Jangan diam saja saat rakyat kesulitan,” katanya.
Ia juga mempertanyakan alasan Aceh dipilih sebagai daerah uji coba penerapan QR barcode BBM, padahal jumlah kendaraan di Aceh jauh lebih sedikit dibandingkan provinsi tetangga seperti Sumatera Utara.
“Mengapa harus Aceh? Dengan penduduk hanya sekitar lima juta jiwa dan sebagian kendaraan berpelat BK yang pajaknya masuk ke Sumut, kebijakan ini terasa janggal,” jelasnya.
Rusyidi juga menyoroti fakta bahwa kebijakan QR barcode BBM sempat dihentikan sementara saat berlangsungnya Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI di Aceh. Ia menilai hal ini semakin memperkuat dugaan bahwa kebijakan tersebut sengaja menyasar masyarakat lokal.
“Saat PON XXI, barcode ditiadakan sementara demi memudahkan tamu dari luar daerah. Ini bukti nyata bahwa penerapan barcode sebenarnya tidak mutlak,” paparnya.
Dengan berbagai kejanggalan ini, Rusyidi menilai wajar jika Muallem bersikap kritis dan tegas terhadap kebijakan ini. Menurutnya, pemerintah pusat seharusnya membuat kebijakan yang lebih proporsional dan tidak membebani masyarakat kecil.
“Kebijakan ini harus dievaluasi. Masyarakat kecil yang benar-benar membutuhkan BBM bersubsidi jangan sampai dikorbankan hanya demi percobaan kebijakan yang belum tentu efektif,” pungkasnya.