Siswa dan Guru SMA Negeri 3 Bireuen memamerkan hasil karyanya berupa Reungkan Pureh.
Detikacehnews.id | Bireuen - Dalam upaya melestarikan kearifan lokal sekaligus mengembangkan keterampilan siswa, SMA Negeri 3 Bireuen menggelar proyek P5 (Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila) dengan tema Kewirausahaan Berbasis Budaya Lokal. Salah satu hasil nyata dari program ini adalah pembuatan Reungkan Pureh atau piring lidi, yang dilakukan oleh siswa kelas X A di bawah bimbingan Cut Nazli, S.Pd., dan Anidar, S.Pd.
Menurut Cut Nazli, proyek ini telah memasuki minggu keempat sejak dimulainya semester dua tahun ajaran ini. "Pada minggu pertama, kami memberikan pembekalan teori kepada siswa, seperti pengenalan konsep P5, sejarah Reungkan Pureh, dan manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari. Setelah itu, mereka mulai praktik langsung pembuatan Reungkan Pureh," ujarnya.
Pembuatan Reungkan Pureh bukan sekadar proyek sekolah, tetapi juga sebagai bentuk pelestarian budaya yang semakin ditinggalkan oleh generasi muda. Anidar menambahkan bahwa proses pembuatannya membutuhkan ketelatenan dan keterampilan khusus. "Dimulai dari pengumpulan lidi muda, yang harus diraut dengan hati-hati dari pokok kelapa, hingga teknik anyaman yang benar agar hasilnya kokoh dan tahan lama," jelasnya.
Proses ini mengajarkan siswa tentang pentingnya kesabaran, ketelitian, serta nilai-nilai kearifan lokal yang diwariskan oleh nenek moyang. "Sekarang ini, anak muda jarang sekali yang mengenal atau mampu membuat anyaman tradisional seperti ini. Melalui proyek P5, kami ingin membangkitkan kembali kecintaan terhadap budaya lokal," tambah Cut Nazli.
Reungkan Pureh merupakan alas tradisional yang biasa digunakan untuk menopang panci atau kuali panas agar tidak merusak permukaan meja atau lantai dapur. Ada juga yang digunakan untuk piring. Perangkat ini dibuat dari berbagai bahan alami seperti daun kelapa muda, rotan, atau lidi.
Lidi kelapa yang digunakan tidak boleh terlalu tua maupun masih berupa janur. Hal ini bertujuan agar reungkan lebih tahan lama dan tidak mudah rapuh. Dalam proses pembuatannya, ukuran kecil memerlukan sekitar 70 hingga 80 lidi, sementara ukuran sedang hingga besar bisa membutuhkan 90 hingga 96 lidi.
Sayangnya, di era modern ini, alat dapur tradisional seperti Reungkan Pureh semakin jarang diperjualbelikan dan mulai tergantikan oleh produk berbahan plastik atau logam. Padahal, selain ramah lingkungan, reungkan juga memiliki nilai seni yang tinggi berkat teknik anyaman khas yang digunakan.
Kegiatan ini merupakan bagian dari program P5 yang berada di bawah binaan Wakil Kepala Bidang Kurikulum, Mauliana, S.Pd. Program ini bertujuan untuk mengasah kreativitas siswa, membangun jiwa kewirausahaan, serta memperkuat identitas budaya di tengah arus globalisasi.
Mauliana menjelaskan bahwa proyek seperti ini sangat penting untuk membentuk karakter siswa. "P5 tidak hanya sekadar proyek akademik, tetapi juga membangun nilai-nilai kehidupan seperti kerja sama, disiplin, dan tanggung jawab. Dengan membuat Reungkan Pureh, siswa belajar tentang kesabaran, menghargai budaya, serta memahami proses produksi sebuah produk berbasis kearifan lokal," ungkapnya.
Kepala SMA Negeri 3 Bireuen, Abdullah, S.Pd., M.M., juga sangat mengapresiasi inisiatif ini. "Kami ingin siswa tidak hanya fokus pada teori di dalam kelas, tetapi juga memiliki keterampilan yang dapat mereka manfaatkan di kehidupan sehari-hari. Pembuatan Reungkan Pureh ini adalah contoh nyata bagaimana budaya lokal dapat dihidupkan kembali melalui pendidikan," ungkapnya.
Dengan adanya proyek ini, diharapkan siswa tidak hanya memahami nilai historis dari warisan budaya, tetapi juga dapat mengembangkannya menjadi peluang usaha berbasis kearifan lokal. "Jika dikelola dengan baik, Reungkan Pureh bisa menjadi produk unggulan yang memiliki daya jual tinggi, terutama di era tren gaya hidup ramah lingkungan seperti sekarang," tambahnya.
Salah satu siswa yang terlibat dalam proyek ini, Abil Fahlevi, mengaku sangat antusias mengikuti kegiatan ini. "Awalnya, saya pikir membuat Reungkan Pureh itu mudah, tapi ternyata cukup sulit dan butuh ketelitian. Namun, setelah beberapa kali mencoba, saya mulai terbiasa dan merasa bangga bisa membuat produk tradisional sendiri," tuturnya.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Rehan Safitri, siswi kelas X A lainnya. Ia menganggap proyek ini sangat bermanfaat karena dapat menambah keterampilan baru yang tidak diajarkan di dalam mata pelajaran biasa. "Sekarang saya jadi lebih menghargai budaya kita sendiri. Ke depan, saya ingin mencoba membuat berbagai kerajinan lain berbasis anyaman," katanya dengan penuh semangat.
Cut Nazli menambahkan bahwa hasil karya Reungkan Pureh ini nantinya tidak hanya sebatas proyek sekolah, tetapi juga akan dipamerkan dan dijual sebagai bentuk apresiasi terhadap kerja keras siswa. "Kami ingin menunjukkan bahwa Reungkan Pureh bisa menjadi produk bernilai ekonomi. Produk ini sangat unik dan bisa digunakan sebagai piring khas berbasis kearifan lokal, yang kini mulai langka. Bahkan, beberapa kafe dengan konsep budaya lokal sudah mulai menggunakannya," jelasnya.
Dengan semakin berkembangnya inovasi dan kreativitas di kalangan siswa, diharapkan Reungkan Pureh dan kerajinan anyaman lainnya bisa mendapatkan tempat di pasar lokal maupun nasional. SMA Negeri 3 Bireuen telah membuktikan bahwa pendidikan tidak hanya sekadar pembelajaran akademik, tetapi juga harus membentuk karakter, keterampilan, dan rasa cinta terhadap budaya sendiri.
Jika lebih banyak sekolah dan komunitas yang turut serta dalam pelestarian budaya lokal seperti ini, maka warisan nenek moyang tidak akan hilang ditelan zaman. Siswa SMA Negeri 3 Bireuen telah memberikan contoh nyata bagaimana generasi muda dapat menjadi garda terdepan dalam menjaga dan mengembangkan warisan budaya Aceh.