Petani Muda Bireuen, Mustaqim
Detikacehnews.id | Bireuen - Dalam beberapa tahun terakhir, kita mulai mengenal istilah baru yang cukup mencengangkan, yaitu gelandangan digital. Bukan sekadar jargon, istilah ini menggambarkan realitas sosial yang kian mengkhawatirkan, fenomena di mana generasi muda semakin teralienasi dari lingkungan sosialnya, terputus dari nilai-nilai kekerabatan, dan kehilangan kepekaan terhadap masa depan. Mereka larut dalam dunia maya, hidup di balik layar, tetapi kehilangan arah di dunia nyata.
Fenomena ini bukan fiksi. Coba kita perhatikan, berapa banyak anak muda hari ini yang menghabiskan waktunya di warung kopi dari pagi hingga malam, hanya untuk menatap layar ponsel mereka? Bangun tidur, cek notifikasi. Siang hari, scroll media sosial. Malam, rebahan sambil main game. Rutinitas ini berulang tanpa jeda, seperti hidup dalam lingkaran setan yang tak berujung. Mereka seolah hidup, tapi tak benar-benar hidup.
Padahal, pemuda sejatinya adalah tulang punggung bangsa. Mereka diharapkan menjadi agen perubahan, pencipta inovasi, dan motor penggerak kemajuan. Namun ironisnya, banyak di antara mereka justru menjadi korban teknologi, kehilangan cita-cita, nilai, bahkan harga diri. Jika dibiarkan, bukan mustahil mereka akan tumbuh menjadi individu apatis, dengan moralitas dan solidaritas yang memprihatinkan dan akhirnya, menjadi gelandangan digital di tengah dunia yang semakin kompetitif.
Namun, di tengah keprihatinan itu, Mustaqim menawarkan jalan keluar yang sederhana tapi brilian, yaitu bertani. Ya, mari kita kembali ke tanah. Mari kita budidayakan jagung. Kenapa jagung? Karena tanaman ini mudah dirawat, cocok untuk pemula, dan cepat menghasilkan. Dalam satu kilogram bibit, bisa diperoleh hasil panen sekitar 400 kg. Jika dijual dengan harga pasar rata-rata Rp5.000 per kg, maka potensi keuntungannya sangat menggiurkan.
Lebih dari sekadar keuntungan materi, bertani mengajarkan nilai-nilai luhur: kerja keras, kesabaran, dan kepedulian terhadap lingkungan. Ini adalah pendidikan karakter yang sejati. Bertani bukan lagi pekerjaan kampungan, tapi simbol kemandirian, kreativitas, dan ketahanan ekonomi. Apalagi di era digital seperti sekarang, pertanian bisa diintegrasikan dengan teknologi: sistem irigasi otomatis, pemasaran lewat media sosial, bahkan pemetaan lahan dengan drone. Inilah era petani digital.
Tentu saja, menjadi petani bukan berarti meninggalkan teknologi. Justru sebaliknya, kita bisa memanfaatkan gawai, tapi bukan menjadi budaknya. Kita bisa aktif di media sosial, tetapi untuk membangun branding usaha tani. Kita bisa mengakses YouTube, tetapi untuk belajar teknik budidaya yang lebih baik. Ball on your hand, keputusan ada di tanganmu. Apakah kamu ingin terus larut dalam dunia maya tanpa arah, atau bangkit menjadi pemuda yang produktif, berdaya, dan menginspirasi?
Jangan tunggu usia tua untuk sadar. Bukankah banyak tokoh sukses yang mencapai puncaknya sebelum usia 40 tahun? Maka masa mudamu adalah waktu terbaik untuk berkarya. Bertani bukan hanya tentang panen, tapi tentang keberanian untuk mencangkul masa depan. Dan percayalah, pemuda yang bisa mencetak cuan dari kebun lebih keren daripada pemuda yang hanya jago push rank dalam game.
Saatnya memilih, menjadi gelandangan digital yang terombang-ambing dalam dunia semu, atau menjadi petani muda yang mengakar kuat di bumi, tapi menjulang tinggi ke langit harapan.