Dr. (Cand.) Rizki Dasilva, S.Pd.I., MA., Direktur SIT Muhammadiyah Bireuen.
Detikacehnews.id | Bireuen - Di tengah meningkatnya ketidakpercayaan publik terhadap dunia politik dan kerap munculnya konflik akibat fanatisme sempit, muncul suara berbeda dari seorang akademisi dan pendidik muda asal Kabupaten Bireuen, Aceh. Dr. (Cand.) Rizki Dasilva, S.Pd.I., MA., menyuarakan gagasan tajam dan reflektif tentang bagaimana politik seharusnya dijalankan: bukan sebagai alat kepentingan kelompok, tapi sebagai ruang pertarungan gagasan untuk memajukan umat.
"Saya bukan politisi. Saya guru dan dosen," ujar Rizki Dasilva kepada awak media detikacehnews.id (12/4) dengan nada tenang namun penuh keyakinan. "Tetapi kalau suatu hari saya terlibat dalam politik, itu karena saya berfikir bahwa politik perlu diasuh dengan force of the better argument. Artinya, siapapun yang punya argumen, ide, dan gagasan terbaik, dia boleh mengajukannya sebagai dalil untuk memajukan negerinya."
Pernyataan ini menjadi cerminan dari pemikiran progresif dan inklusif pria yang kini menjabat sebagai Direktur SIT Muhammadiyah Bireuen. Menurutnya, pernyataan ini tidak muncul dari ruang kosong. Ia lahir dari keresahan yang mendalam terhadap realitas politik hari ini yang kerap didominasi oleh sentimen kesukuan, fanatisme ormas, dan pertimbangan golongan. Bagi Rizki, ini adalah bentuk kemunduran berpikir yang justru menjauhkan kita dari esensi politik sebagai instrumen maslahat publik.
"Politik itu menyangkut kepentingan umat dengan berbagai latar belakang. Maka, haram hukumnya memasukkan sentimen suku, mazhab, organisasi, dan golongan ke dalam pertarungan politik. Kita tidak sedang bicara tentang siapa kita, tapi apa yang kita bawa untuk umat," lanjutnya.
Di era ketika politik sering kali dimaknai sebagai perebutan kekuasaan semata, alumni Magister Pendidikan Islam di UIN Ar-Raniry ini menawarkan jalan lain, yaitu politik berbasis gagasan. Bagi Rizki, kekuasaan hanyalah sarana, bukan tujuan. Tujuan sesungguhnya adalah menghadirkan keadilan, kemajuan, dan kesejahteraan bagi semua golongan tanpa diskriminasi.
Ia menekankan bahwa argumen yang baik harus diutamakan dalam setiap diskusi kebijakan. "Kalau seseorang punya ide cemerlang, strategi terukur, dan niat baik, maka ia layak didengar. Tak peduli ia dari ormas mana, suku mana, bahkan dari partai mana. Yang kita cari adalah solusi, bukan identitas," katanya.
Pendekatan ini mencerminkan semangat deliberatif ala demokrasi Islam yang selama ini digaungkan para pemikir besar. Politik bukan tempat menonjolkan siapa yang paling keras suaranya, melainkan siapa yang paling jernih pikirannya.
Tak hanya bicara soal konsep besar politik, Rizki juga menunjukkan bahwa transformasi sosial bisa dimulai dari pendekatan yang sederhana namun tepat sasaran: pengelolaan zakat dan wakaf secara produktif.
"Di Bireuen, saya melihat harapan. Baitul Mal tidak hanya sebagai tempat menampung dana umat, tapi bisa menjadi alat transformasi sosial," ujarnya. "Kita harus mengakhiri pola pikir karitatif dalam mengelola zakat. Zakat bukan hanya untuk dibagi-bagikan, tapi dikelola produktif agar menjadi alat pemberdayaan, bukan ketergantungan."
Baginya, pengelolaan dana umat yang baik bisa menambal banyak bolong yang tak bisa segera dijangkau oleh birokrasi negara. "Seringkali program pengentasan kemiskinan terhambat oleh birokrasi dan ketimpangan. Di sinilah Baitul Mal, wakaf, dan lembaga filantropi Islam harus hadir sebagai kekuatan alternatif," lanjutnya.
Pernyataan ini sejalan dengan visi Islam sebagai agama yang tidak hanya mengatur ibadah ritual, tapi juga sosial. "Nabi Muhammad SAW bukan hanya pemimpin rohani, tapi juga pemimpin masyarakat. Islam itu sistem sosial. Dan zakat serta wakaf adalah institusi ekonomi umat yang harus dimaksimalkan," jelas Rizki.
Gagasan Rizki Dasilva juga menyinggung dimensi moral dari politik. Menurutnya, politik harus menjadi perpanjangan dari nilai-nilai etika dan spiritual. "Politik tidak boleh lepas dari moralitas. Kalau politik dipisahkan dari akhlak, maka ia akan berubah jadi alat penindasan," tegasnya.
Ia menyayangkan banyaknya politisi yang hanya menjadikan agama sebagai alat kampanye, bukan nilai dasar dalam pengambilan kebijakan. “Padahal, Islam mengajarkan konsep amanah, keadilan, dan musyawarah, semua ini adalah fondasi utama dalam berpolitik.”
Rizki ingin agar politik dijalankan bukan dengan topeng, tapi dengan hati. Politik yang ikhlas melayani, bukan gila memerintah. Politik yang menampung suara rakyat, bukan memanfaatkan rakyat untuk meraih suara.
Rizki juga mengajak generasi muda untuk tidak apatis terhadap politik, tapi juga tidak larut dalam politik pragmatis. "Anak muda harus hadir dalam politik dengan membawa semangat perubahan. Bukan untuk mencari jabatan, tapi untuk memperbaiki sistem. Bukan untuk ikut-ikutan, tapi untuk membawa gagasan segar," serunya.
Ia yakin, masa depan Indonesia sangat tergantung pada sejauh mana generasi muda mampu menjadikan politik sebagai jalan perjuangan dan pengabdian, bukan sebagai panggung pencitraan. “Kalau yang baik tidak masuk politik, maka politik akan terus dikuasai oleh yang buruk. Maka jangan takut masuk ke dunia politik, asal kita membawa misi yang benar,” tegasnya.
Dalam pandangan Rizki Dasilva, politik bukanlah dunia yang najis, tapi jalan ibadah jika dijalani dengan niat dan cara yang benar. Ia berharap ke depan akan muncul lebih banyak pemimpin yang memulai langkahnya bukan dari elite, tapi dari bawah, dari ruang-ruang kelas, masjid, kampus, dan pesantren.
"Kalau kita ingin politik bersih, maka kita harus isi dengan orang-orang yang bersih. Kalau kita ingin politik membawa rahmat, maka harus kita isi dengan orang-orang yang punya rahmat di hatinya," pungkas Rizki Dasilva.
Dari Bireuen, Rizki mencoba menyuarakan arah baru bagi masa depan politik Indonesia: arah yang mengedepankan akal sehat, etika, dan keadilan sosial. Sebuah suara dari daerah yang pantas didengar di tingkat nasional.